-aSSalamuaLaikum-

-Ku bErHarap TuLisan DaLam bLog ini bErmAnfaaT-

Kamis, 29 Oktober 2009

karya gue lho...

Menjaga Eksistensi Kebudayaan Jawa

Era global yang melanda seluruh negara; termasuk Indonesia ternyata memiliki dampak yang luar biasa bagi perkembangan social budaya; khususnya kebudayaan Jawa. Munculnya budaya-budaya yang sifatnya lebih modern mampu menyudutkan posisi kebudayaan jawa. Hal itu menjadikan posisi kebudayaan Jawa mengalami goncangan. Bila diibaratkan seperti pohon, maka pohon itu sedang diterpa angina sehingga gerakannya tidak stabil. Berbicara mengenai kebudayaan Jawa, otomatis bahasa Jawa memiliki kedudukan yang paling dominant. Bahasa Jawa memiliki peran utama sebagai cirri khas kebudayaan Jawa. Bahasa Jawa yang seharusnya memegang peranan sebagai media komunikasi bagi komunitas Jawa khususnya, kini mulai surut kualitas penggunaanya. Adanya perasaan malu dan dianggap tidak nasionalis, kadang menjadi alasan yang paling mendasar keengganan masyarakat menggunakan bahasa Jawa sebagai media komunikasi. Masyarakat cenderung menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa yang lain sebagai media komunikasi dalam pergaulan sehari-harinya. Padahal jika ditelaah lebih dalam, bahasa Jawa juga memiliki kelebihan yang tidak sepantasnya diremehkan.

Bahasa Jawa merupakan bahasa tua (abad V11-sekarang); ioa digunakan 40% masyarakat Indonesia. Bahasa ibu itu mampu mengejawantahkan kehalusan budi penggunanya. Selain itu, penggunaanya juga memberlakukan perbedaan jenis berdasarkan pangkat, kedudukan, jabatan, usia, dan situasi. Semakin tinggi pangkat, usia, jabatan dan usia orang yang diajak bicara, maka jenis bahasa yang digunakan semakin halus. Ada sembilan jenis tutur dalam bahasa Jawa, yaitu ngoko lugu, antya basa, basa antya, madya ngoko, madyantoro, madya kromo, muda karma, kramantoro, dan Freda krama. Kesembilan jenis tersebut, penggunaanya disesuaikan dengan orang yang diajak bicara. Tatanan kebahasaan tersebut hanya ada dalan tuturan bahasa Jawa, dan tidak ditemukan dalam bahasa lain. Dari pernyataan tersebut, dapat kita ketahui bahwasanya bahasa Jawa dapat mempengaruhi tingkah laku masyarakat. Cirri khas masyarakat Jawa yang dikenal halus dan luwes, tidak terlepas dari peran dan karakter bahasa Jawa. Karena itu, sungguh disayangkan apabila kita sebagai masyarakat pemiliknya tidak mampu membudidayakan penggunaan bahasa Jawa.

Patut Didukung

Melihat kondisi memperihatinkan tersebut, sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab Pemerintah Provinsi (Pemrov) Jawa Tengah mengambil langkah bijaksana, yaitu memasukan bahasa Jawa ke dalam kurikulum sekolah. Bahasa Jawa menjadimata pelajaran pokok untuk semua siswa, mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas. Langkah tersebut patut dan harus didukung oleh stakeholders, agar anak cucu kita kelak tidak kehilangan bagian dari kebudayaannya. Kiranya semua pihak untuk sementara waktu ini pantas bersyukur, karena langkah tersebut mendapat dukungan dari beberapa pihak. Bentuk dukungan itu antara lain, dibukanya jurusan bahasa Jawa pada Fakultas Pendidikan Bahaa dan Seni (FPBS) di berbagai universitas keguruan dan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Lewat pendidikan di LPTK, diharapkan setiap tahun tersedia guru bahasa Jawa yang kapabel dan memiliki kompetensi tinggi. Semakin banyak guru yang menguasai bahasa Jawa, diharapkan para siswanya yang akan menjadi generasi penerus dapat dengan mudah memelajari bahasa Jawa, dan suatu saat mampu menggunakannya sebagai media komunikasi dengan baik dan benar. Selain itu, masyarakat yang merasa belum mampu berbicara bahasa Jawa dengan baik dan benar, diharapkan memiliki kesadaran untuk terus belajar dan berlatih. Jika sedikit demi sedikit masyarakat mulai menggunakan bahasa Jawa , secara perlahan keberadaan bahasa Jawa akan terus terjaga dan berkembang. Dalam konteks kebahasaan ini, saya tak bermaksud membandingkan kelebihan atau kelemahan bahasa Jawa dengan bahasa lainnya. Hanya saja, saya ingin memberikan kesan bahwa bahasa Jawa tidak se-katrok seperti yang ditudingkan saat ini. Masyarakat hanya dituntut untuk bias menempatkan diri dengan bahasa yang digunaskan secara kontekstual, sesuai dengan lingkup pemakainya. Setidaknyajika berada dilingkungan komunitas masyarakat jawa, bahasa Jawa dapat digunakan sebagai media komunikasi, karena dengan begitu bahasa Jawa dapat membudidaya dengan sendirinya.(Nailis Suraya Publikasi Suara Merdeka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar